Bicara Cinta, Tapi Apa Itu Cinta?

Pernah suatu ketika… 
Descartes berujar, “Aku berpikir, maka aku ada.” yang kemudian lahirlah Camus dengan gebrakannya, “Aku berontak, maka aku ada.”

Semua terus berlalu, dunia berubah, manusia-manusia baru lahir, sebagian dari mereka terlahir dengan keinginan menguasai. Maka datanglah sebuah pernyataan, “Aku belanja, maka aku ada.” yang tepat untuk masyarakat konsumer. Dan semua kembali berlalu, kenyataan sama dengan bungkus yang berbeda. Tiga peryataan di atas masih tetap berdengung dalam keseharian kita, meski memendam banyak pro dan kontra. Dan melihat situasi hari ini, tidak banyak yang berubah, kapitalisme masih menggerogoti ruang-ruang kebebasan kita sebagai manusia. Bahkan tidak berhenti di situ, satu hal yang tak pernah padam juga abstrak, berhasil ditembus kapitalis untuk kembali meraup keuntungan seraya kita tidak menyadarinya. Bahkan tidak seorang pun dapat mendefinisikan hal ini secara sederhana namun tepat, penjelasan filosofis pun masih dianggap mengambang. 

Hal apa itu? 

Cinta. 

Apa itu cinta? 

Erich Fromm dengan tegas mengatakan bahwa, “Cinta bukan memiliki, tetapi menjadi.” yang Ia cantumkan ke dalam konsep ‘To have – To be’-nya, peng-klasifikasian akan dua ragam modus oleh Fromm tersebut tetap terlihat samar. Karena modus cinta yang ‘menjadi’ adalah seperti cinta yang pamrih, dengan seolah menjadikan pasangan sebagai diri kita dan kita adalah pasangan kita. Meski dalam konsep tersebut aku setuju pada bagian akhir, ketika pasangan memutuskan untuk meninggalkan kita, kita tidak akan terbebani untuk kembali melangkah karena kita adalah dia yang berarti keputusannya adalah pilihan kita. 

Berbicara tentang cinta dewasa ini, tabu rasanya jika cinta dianggap hanya kekosongan belaka. Tapi nyatanya, aku benar-benar muak dengan orang-orang yang menganggap cinta hanyalah untuk dua anak manusia yang ternyata hanya sedang dimabuk hormon. Aku sudah muak mendengar orang-orang berbicara tentang bagaimana manisnya bagian terakhir dari film-film yang mereka saksikan di bioskop. Aku sudah muak melihat timeline sosial mediaku penuh dengan serangkaian quotes-quotes percintaan dari film karya Raditya Dika, atau si Milea yang gugur bersama perasaannya kepada Dilan di tahun 1990-1991 karya Pidi Baiq, dan sekarang ini aku kembali melihat hal yang sama, hegemoni Dear Nathan. Dan satu lagi, yang mungkin tidak akan pernah berakhir, adalah lagu-lagu dan puisi-sajak percintaan yang mendayu, merayu pendengar atau pembaca untuk duduk termenung dengan mata berkaca-kaca. Duh, permainan serotonin yang lebih sulit dipahami dari pada menerima dopamine tanpa bertanya dan menduganya dari awal.

Sebenarnya, semua itu bukanlah masalah. Karena aku pun kadang-kadang membaca novel percintaan, membuat sajak bertema serupa, atau mendengarkan lagu-lagu tentang cinta. Tapi apa yang aku bingungkan, adalah, mengapa orang-orang ini begitu terobsesi dengan cinta? Jean Paul Sartre, melemparkan argumen bahwa cinta adalah penindasan halus. Sartre benar tentang itu, lihat saja, seringkali kita rela melakukan apa pun demi menyenangkan pasangan sementara kita mesti tenggelam dalam kecemasan tentang bagaimana caranya membuat sebuah hubungan bertahan lama. Bahkan kadang kita rela menjadi asing untuk diri sendiri hanya karena pasangan kita tidak menyukai gaya hidup atau cara berpikir kita, kita rela merubah itu semua deminya. Omong kosong macam apa itu, selain, terjebak dalam dunia orang lain?

Jacques Derrida, kembali dengan pemikirannya yang membuat orang-orang menggelengkan kepala, bersama metode dekonstruksi-nya, Derrida menganggap bahwa orang yang jatuh cinta adalah narsis. Tentu, coba perhatikan, seseorang yang mengaku sedang jatuh cinta pasti membutuhkan perhatian dari pasangannya, hal ini dapat menjadi lebih gila jika seseorang tersebut ingin diakui sebagai prioritas utama dari pasangannya. Analisis Derrida ini mungkin bisa disambungkan dengan pemikiran Sartre tentang penindasan halus. 

Cinta hari ini dapat kita lihat di mana saja, dapat kita rasa di mana saja, terbentang dalam layar kaca, majalah, buku, lagu dan lain sebagainya. Satu hal yang dapat kita coba adalah, berpikir ulang. Mengapa kita begitu mudah untuk mengatakan cinta? Jika memang cinta itu sederhana, mengapa seseorang rela mengakhiri hidupnya hanya karena hubungan yang berakhir? Se-sederhana itukah kenyataan? 
Ada satu penelitian menarik dari National Autonomous University of Mexico yang menyimpulkan bahwa hormon-hormon mendasar dari cinta seperti dopamine, norepinephrine, serotonin dan pheromone hanya dapat memercikkan energinya selama empat tahun. Setelah itu, hadirlah hormon oxytocin dan vasopressin yang memercikkan energinya melalui dorongan untuk melakukan seks atau ketergantungan secara emosional. Jadi menurutku, cinta mungkin memanglah sederhana, atau bahkan kosong, hanya saja orang-orang terlalu berlebihan menjalaninya. 

Tapi apa hubungannya cinta dan tiga pernyataan di awal tulisan tentang mengada? Seperti ini, aku ingin mengakhirinya dengan pernyataan yang kubuat, mungkin sedikit bertemakan lelucon atas apa yang terjadi dewasa ini mengenai cinta. Jika Descartes, Camus, dan sindiran terhadap masyarakat konsumer sudah jauh lebih lama hadir diantara kita. Maka kita melupakan sesuatu, “Aku berpikir tentang cinta, lalu aku mencinta, berandai dan aku berontak untuk mendapatkannya, kemudian aku mengorbankan apa pun demi menjadi sosok yang dicinta. Jika aku melakukan semua itu dengan baik, maka aku ada.”

Dan diakhir hari, pertanyaan itu kembali datang, apa itu cinta?

5 thoughts on “Bicara Cinta, Tapi Apa Itu Cinta?

Leave a comment