Di Sekolah, Kita Belajar: Tapi Tidak Bertanya.

Suatu hari, aku bertemu dengan teman semasa sekolah dulu, panggil saja YM. Dia terkenal pandai, tekun, tidak seperti aku dan sebagian temanku yang malas. Dulu, pernah beberapa kali aku melihat YM memiliki bakat melukis yang sangat baik. Tapi sekarang, dia sedang berada di Akademi Kepolisian. Setelah sedikit bercanda dan mengingat beberapa momen di sekolah, aku mulai bertanya, “Kenapa kamu tidak melanjutkan bakat melukismu?” dia tertawa kecil kemudian menjawab, “Ya, mau gimana. Dulu saya emang senang melukis, tapi orang tua bilang bahwa menjadi pelukis itu pekerjaan orang malas. Setelah lulus sekolah, saya dituntut untuk meneruskan pekerjaan seperti kakak dan ayah. Menjadi Polisi. Sekarang, saya hampir tidak memiliki waktu untuk duduk atau santai berjam-jam di depan kanvas. Kadang-kadang juga saya rindu masa-masa itu, masa di mana saya bisa menghabiskan waktu dengan apa yang saya suka, melukis atau sekadar mencoret-coret buku gambar. Sekarang kesibukan yang menjadi rutinitas rasanya telah menjadi hal biasa bagi saya.”

Seketika itu aku langsung merasa buruk dengan apa yang telah terjadi kepada YM. Dia dituntut untuk menjadi apa yang menurut orang tuanya baik, dituntut untuk menjaga status sosial keluarganya tanpa pernah diberi kesempatan untuk menunjukan apa yang dia mau. Dibandingkan dia, aku bukanlah apa-apa. Aku teringat bagaimana dulu orang tua menuntutku agar masuk sekolah negeri setelah lulus SMP, namun ternyata nilai-nilai yang kudapat tidak sesuai ekspektasi mereka. Aku kembali masuk sekolah swasta. Di SMK, aku dicap sebagai “provokator” oleh guru hingga kepala sekolah, beberapa kali aku mengajak teman-teman untuk bolos dan pergi ke stadion Siliwangi. Lari dari shalat jum’at hingga diberi hukuman untuk selalu hadir di sekolah pukul 5 pagi dan menandatangani perjanjian untuk tidak mengulanginya, selama satu bulan. Lihatlah, aku bahkan tidak belajar di pesantren. Aku bersekolah di SMK dengan jurusan multimedia. 

Ya, mungkin memang sulit membayangkan bagaimana seorang anak bisa sukses di tengah-tengah masyarakat tanpa adanya sekolah. Tapi, apa itu sukses? Apa artinya untuk duduk dan menerima pelajaran selama belasan tahun, otak kita diuji dengan berbagai macam test dan berkompetisi dengan murid lainnya, apa artinya untuk menjadi sukses jika ternyata kita adalah hasil mesin cetak yang dipersiapkan untuk menjadi mesin produksi komoditi yang tak lain untuk melanggengkan kekuasaan kapital? Apa artinya untuk tekun dan sukses dengan nilai-nilai terbaik dari berbagai mata pelajaran jika ternyata semua itu hanya memotivasi kita agar mendapat reward, dan menjauhi “dosa” bernama malas yang melahirkan punishment? Apa artinya untuk sukses menjadi “pintar” dibanding murid lain jika ternyata sekolah sendirilah yang menjadi masalah? 

Coba pikirkan kembali, betapa “gila” nya institusi yang mengklaim diri bertujuan mencerdaskan bangsa ini. Bagaimana bisa dikatakan cerdas, jika kita hanya belajar dan belajar, kemudian semua itu kita muntahkan kembali di sebuah momen sakral bernama ujian. Setelah itu? Kita akan lupa apa yang diajarkan, karena kita harus menyiapkan sisi kosong di otak lainnya untuk pelajaran-pelajaran baru. Mulai dari matahari terbit, berakhir di tengah-tengah terik matahari, bahkan hingga matahari terbenam. Otak kita sudah mabuk dicekoki pelajaran seharian, belum lagi kita harus mengerjakan PR. Sebagian dari kita bahkan mengikuti les tambahan.

Bahkan kita akan sulit memiliki waktu untuk mengunjungi taman baca atau perpustakaan, kita akan sulit menerima pelajaran lain selain apa yang diajarkan di sekolah, mereka berpikir bahwa buku-buku pelajaran yang dicetak oleh sekolah itu cukup dan menjadi tolak ukur dari kebaikan demi bekal di kemudian hari. Tapi, nyatanya, kita tidak diajarkan bagaimana untuk berpikir kritis. Kita tidak diajarkan untuk mencari tahu hal-hal yang mereka anggap tidak perlu. Kita diajarkan untuk patuh dan tekun, untuk menjadi seragam dengan para pengajar. Kita diajarkan bahwa dunia luar yang penuh eksplorasi kehidupan itu radikal dan kita harus menjauhinya. Dan kemudian mereka berpikir, bahwa semua kerusakan sistem hari ini bisa diatasi dengan guru baru yang memiliki reputasi lebih baik untuk mendidik, mengganti kurikulum yang membuat peraturan lebih ketat. Pikirkan saja, mengapa kita butuh semua itu? 

Aku pernah mendengar seseorang berkata, “Lalu bagaimana kamu bisa belajar sesuai apa yang kamu butuhkan jika kamu tidak bersekolah?” pertanyaanku sederhana, bagaimana kamu tahu apa yang aku butuhkan? Harus berapa banyak lagi kelompok etnik (cukup di Indonesia saja) yang mampu belajar membaca dan berhitung, bahkan memiliki pengetahuan yang tidak kita miliki — tanpa adanya sekolah — salah satunya kita dapat lihat dalam tradisi Sedulur Sikep. Dan omong kosong apa lagi yang kamu terima begitu saja bahwa dengan bersekolah mampu membuatmu menjadi pintar atau jenius seperti tokoh-tokoh dunia, lalu mengapa Thomas A. Edison dan Albert Einstein membenci sekolah?

Masalah yang kita miliki ada dalam keseluruhan sistem sekolah konvensional ini, lihat saja, di akhir hari ketika kita memiliki hobby-hobby lain di luar sekolah, kita akan kesulitan mengembangkannya karena kebanyakan dari kita terus didesak untuk berkompetisi di sekolah. Mereka menganggap otak kita itu kosong dan perlu diisi oleh duplikasi-duplikasi pengetahuan para pengajar, yang ternyata, lebih mirip seperti penjajahan “intelektual” yang mereka lakukan. Dan setelah keadaan berbalik, kita akan sadar bahwa individualitas kita sebagai manusia berhasil mereka bentuk menjadi seragam dengan murid lainnya. Belum lagi segala kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami murid di sekolah, apa itu semua baik-baik saja? Apa tujuan “pembentukan karakter” yang dilakukan sekolah itu benar-benar efektif? Dan, belum cukup jelaskah bahwa sekolah membuat murid stress? Coba ingat kasus Cahyono bin Taryim di Kabupaten Subang pada tahun 2007, dia bunuh diri karena tidak naik kelas. Kasus tersebut bukanlah yang pertama dan terakhir.

Bagaimana tidak? Kita dihadapkan dengan berbagai ujian yang sama sekali tidak efektif. Kita dituntut mengerjakan semua soal dalam ujian dengan nilai terbaik — jika kita pandai dalam pelajaran sejarah namun buruk dalam pelajaran kimia — mau tidak mau kita harus menyisakan waktu lebih untuk belajar kimia, terus dan terus agar mendapat nilai yang diinginkan; hingga kita lupa bahwa sejarah adalah apa yang kita senangi sebelumnya. Kesimpulannya yang lebih “gila” mengenai ujian ini, yaitu, kita dituntut untuk mengikuti ujian yang sama! Omong kosong macam apa ini! Sekali lagi, sekolah menafikan fakta bahwa setiap manusia memiliki minat dan potensi yang berbeda-beda, tapi kita kembali dibentuk untuk menjadi seragam. Siapa pun yang dianggap gagal mengikuti apa yang diperintahkan akan disebut “bodoh”. 

Apa di sekolah kita diberi pendidikan tentang bagaimana pemikiran kritis Paulo Freire? Setidaknya, Ivan Illich? Tentu tidak. Mungkin mereka akan berkata, “mereka itu dari luar, budaya kita berbeda”… berak! Bahkan kita tidak pernah diajarkan bahwa Papua itu bukan Indonesia, mereka hanya berkata bahwa kesejahteraanlah yang menjadi masalah di sana, karena kurangnya pendidikan di Papua maka membuat mereka “bodoh” dan kita tidak boleh seperti mereka. Persetan dengan pendapat seperti itu! Kita tidak dibiarkan untuk berpendapat bahwa sistem sekolah konvensional ini menyebalkan, justru sekolah sudah menjadi layaknya tumbuhan beracun ketika kita berada ditengah hutan tanpa makanan, mau tidak mau kita harus menelan tumbuhan itu tanpa berpikir dan bertanya dampak apa yang akan kita dapatkan.

Oleh karena mental kita yang tak henti diserang berbagai evaluasi yang diberikan di sekolah, kita akan mudah percaya bahwa kita tidak pernah cukup baik, maka kita akan terus dan terus mengabdikan diri kepada apa yang mereka ajarkan demi mencapai kategori baik tersebut. Kita tidak bisa membuat sanggahan, karena apa yang mereka ajarkan itu dianggap benar. 

Ada perbincangan yang harus diselesaikan, sebelum bergegas pulang aku mengatakan sesuatu kepada teman lamaku itu. “Ya sudah, nikmati saja masa-masa perbudakanmu. Tidak perlu bertanya, itu yang mereka mau, dan itu yang kamu percaya.” dengan tatapan tajam dia balik bertanya, “Maksudmu?” 

“Kau tahu, kita semua lahir ke dunia yang membingungkan ini dengan rasa ingin tahu dan jiwa bermain. Kita belajar bicara dan berjalan tanpa perlu pengajaran sistematis. Lalu kita tumbuh, mengembangkan minat dan potensi kita sendiri. Melukis, sepertimu. Menulis, membentuk sesuatu dari tanah, bermain musik, dan lain sebagainya. Kemudian datanglah satu masa di mana kita dibentuk dan dikemas sedemikian rupa agar siap diperebutkan di pasar kerja. Akhirnya, berbagai potensi unik yang setiap anak miliki hilang begitu saja. Berapa banyak anak yang tumbuh dengan minatnya sendiri dan berpontensi menjadi pelukis, penulis atau musisi tapi lenyap begitu saja ketika mereka mulai masuk dan dipaksakan dengan rutinitas yang menggerogoti ruang-ruang kebebasan yang mereka inginkan. Dan karena mereka gagal mengembangkan potensi mereka, sebagian dari mereka kemudian merubah mimpinya untuk menjadi “sukses” — menjadi pejabat — PNS atau pemerintah yang kebiasannya memakan uang rakyat. Buka matamu, kamu tak lebih dari sebuah produk, penurut dan terpaku dengan status sosial. Kamu adalah hasil cetak yang dimanfaatkan untuk menghasilkan keuntungan bagi siapa yang mencetakmu, yaitu negara dan kapital. Dan sama halnya dengan produk lain, kamu akan digantikan ketika ada produk yang lebih baik. Selamat!” lalu aku menepuk pundaknya dan berjalan pulang.

Terakhir, orang tua pun tidak bisa selalu memaksakan kehendaknya kepada anak. Dan ketika si anak gagal mencapai ekspektasi mereka, berhenti bertanya apa yang salah dengan anak mereka, tapi tanyakan apa yang salah dengan sistem yang sebelumnya mereka percaya. Didik anakmu untuk menghargai esensi dari sebuah hal, bukan terpaku dengan nilai.

2 thoughts on “Di Sekolah, Kita Belajar: Tapi Tidak Bertanya.

Leave a comment