Sebelum Gelap: Bunuh Diri dan Penolakannya


Suicide doesn’t end the pain. It just passes it on to someone else.

Mungkin kita sudah tidak asing dengan sebuah kutipan tentang bunuh diri di atas, kutipan tersebut seperti memperkuat sentimen bahwa tindakan bunuh diri adalah tindakan yang salah dan hanya orang egois yang melakukannya. 

Orang-orang Yunani kuno menganggap keputusan untuk mati adalah terhormat, jika seseorang tersebut memang sudah tidak memiliki keinginan untuk hidup, atau berbagai alasan lainnya yang lebih masuk akal, mereka menyebutnya Euthanasia. Tapi kemudian Aristotle berpendapat bahwa tindakan bunuh diri dapat melemahkan ekonomi dan membuat para dewa marah, dengan demikian dia memulai stigmatisasi atas tindakan tersebut. 

Kita tidak bisa memaksa dengan terus meminta seseorang yang menderita karena eksistensinya sendiri untuk tetap bertahan. 

Bunuh diri seolah-olah menjadi suatu hal yang terkutuk dan bodoh, orang-orang menghindari topik bunuh diri hingga topik itu menjadi taboo. Bahkan sebagian dari mereka sangat pandai mengarang alasan untuk menentangnya, membuat alasan hypocritical untuk menutupi apa yang ingin mereka sembunyikan di bawah permukaan. Sentimen yang menganggap bunuh diri hanya memberi luka kepada orang lain seolah-olah ada untuk mengurangi konflik sosial dan psikologis yang ada di dunia kita saat ini, sampai pada titik di mana tidak pernah ada alasan bagi setiap manusia untuk menentukan nasib mereka sendiri sehubungan dengan tetap berjalan atau mengakhiri perjalanan. Sementara diskusi tentang bunuh diri itu sendiri tak bisa lepas dari pertanyaan mengenai apa arti hidup, kita mendapat kenyataan lain bahwa tak seorang pun memiliki alasan spesifik tentang mengapa kita ada di dunia ini – selain karena proses rekombinasi genetika.

Bagaimana jika kamu kehilangan kendali atas dirimu sendiri? Bagaimana caramu untuk mengambil kembali kendali? Apa yang bisa kamu kendalikan? Hidup ini sendiri telah menjadi pertanyaan yang tak selalu memiliki jawaban. Ada dua langkah yang sama, dan bunuh diri adalah keputusan yang sama dengan keputusan untuk tetap bertahan.

Ingatlah, percaya dengan sentimen semacam itu hanya akan menambah beban orang yang benar-benar merasakannya, itu akan membuat orang tersebut semakin kebingungan dan menguatkan anggapan bahwa bunuh diri hanya untuk orang lemah karena tidak bisa menerima penderitaan dan tidak berusaha untuk berubah. Maksudku, omong kosong apa itu? Seseorang yang sudah hidup dalam penderitaan, merasa dirinya selalu ada di posisi yang salah, yang terkadang memilih untuk menyembunyikan permasalahannya karena tak ingin mendapatkan label lemah atau bahkan gila, lalu dengan kematian pun ia tetap bersalah karena telah memberikan penderitaan kepada orang lain? Apa segala sesuatu itu harus selalu kita terima hanya karena alasan “semua akan baik-baik saja suatu hari nanti”? Apa bedanya? 

Dan berhenti berkata bahwa kamu juga merasakan apa yang mereka rasakan hanya untuk menunjukan kepedulian semu, kamu bukan dia atau mereka. Kita semua memiliki keyakinan, gagasan, keinginan, ketakutan dan masalah yang berbeda – itu mengapa tak semua orang dapat lolos dari labirin tanpa peta dengan cara-cara yang sama yang berhasil membuatmu lolos. Siapakah kamu adalah pertanyaan yang lebih layak. Dan satu hal yang perlu kita pahami adalah, bunuh diri bagi sebagian orang bukan berarti kegagalan, melainkan penerimaan situasi terlepas dari apakah kita memahaminya atau tidak.

Ini juga alasan mengapa bunuh diri memiliki dua “wajah” yang sangat berbeda dalam masyarakat, yang pertama dianggap sebagai perbuatan terhormat seperti jihad, jibakutai atau puputan – tapi yang kedua, dianggap menyebabkan rasa malu secara sosial (dianggap pengecut, lemah, desersi, lari dari tanggung jawab, dll). 

Sampai sekarang, hanya sedikit negara yang melegalkan permintaan pribadi untuk mati dengan baik, salah satunya adalah Belgia yang pada tahun 2015 membuat kejutan dengan memberi izin Euthanasia kepada orang yang sehat. Tapi ingatlah bahwa tak semua orang membutuhkan negara untuk selalu mengatur hidupnya. 

Sementara banyak masyarakat berpikir bahwa mati yang baik adalah kematian yang mengorbankan diri sendiri untuk orang lain – seperti jihad atau para tentara di medan perang yang dianggap “heroik”, atau hanya mati secara lebih normal – tapi mengapa masyarakat justru sulit menerima tindakan bunuh diri? Aku melihat ini absurd karena seseorang bisa saja bertahan hidup hingga mati karena terlalu tua, atau terbunuh oleh perampok, atau karena bencana alam, penyakit, dan lain sebagainya, tapi apa perbedaannya?

Dalam kasus ini, aku ingin sedikit masuk ke dalam pemikiran Sartre secara sederhana – menurut Sartre, benar atau salah (baik atau buruk) seseorang yang masih hidup atau mengada tak dapat di nilai atau pun di tentukan oleh orang lain. Itu artinya, tindakan mengakhiri kehidupan hanya bisa di nilai oleh si pelaku itu sendiri. Karena jelas, si pelaku berpikir dan mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya sendiri pun ketika ia masih hidup. Tapi ketika si pelaku sudah mati, yang berarti si pelaku tersebut sudah tidak melakukan penciptaan diri dan berubah menjadi “is/adalah”, barulah penilaian kita dapat di maklumi.

Aku tidak mempromosikan tindakan bunuh diri agar dapat penerimaan masyarakat, aku hanya tidak ingin melakukan pendekatan yang merendahkan atau bahkan dengan cara-cara “baik” yang tanpa kita ketahui ternyata semakin menjatuhkan.

Aku percaya, di dalam hidup ini, kita memang harus berusaha untuk menjalani semuanya. Tapi, tidak semua dari kita berhasil. Sebagian dari kita kehilangan arah, sehingga mereka kembali memulai perjalanan dan pencarian baru, tapi ternyata tak ada yang berubah. Maka mereka memilih untuk mengakhiri perjalanan mereka, karena mereka menyadari bahwa tak ada lagi yang harus di jalani. Jika kita tetap ingin berbicara tentang bunuh diri, mulailah dengan bertanya tentang apa arti hidup kita, mulailah dengan bertanya “what if…?

Leave a comment